PENGARUH RANTAI TATANIAGA PERTANIAN TERHADAP
STABILITAS HARGA

Oleh:

Sigit Ageng Permana
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta


Sebagaimana diketahui, tataniaga yang seharusnya memperlancar barang
atau jasa dari produsen ke konsumen ternyata menjadi sistem yang melemahkan berbagai sektor khusunya pertanian. Sebelum meninjau lebih jauh mengenai permasalahan tataniaga, mari kita singgung sekilas mengenai tataniaga. Tataniaga adalah semua kegiatan yang bertujuan untuk memperlancar arus barang atau jasa dari produsen ke konsumen dengan maksud untuk menciptakan permintaan yang
efektif sehingga tataniaga bukan semata-mata kegiatan untuk menjual barang atau jasa karena kegiatan sebelum dan sesudahnya juga merupakan kegiatan tataniaga. Kegiatan bisnis atau kegiatan tataniaga yang terlibat dalam arus barang dan jasa yang dimana titik produksi hingga barang dan jasa tersebut ada di tangan konsumen. Terdapat kendala pada sistem tataniaga ini dalam pelaksanaannya yang membuat
arus tersebut tidak berjalan baik, seperti panjangnya rantai tataniaga dan pembagian margin tidak seimbang. Hal ini mengakibatkan terjadinya gap antara harga yang diterima petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen. Secara umum hal tersebut menimbulkan permasalahan dalam pendistribusian produk pasca panen, bahkan berpengaruh terhadap ketimpangan ekonomi petani.

Salah satu penyebab terjadinya tataniaga yang panjang adalah kurang berfungsinya pemerintah maupun pelaku distribusi dalam hal kerja sama. Panjangnya rantai distribusi ini juga menyebabkan harga yang jauh berbeda antara petani dengan konsumen akhir, bahkan menurunnya kualitas barang. Sedangkan, pembagian margin tidak seimbang disebabkan karena kondisi struktur pasar bersaing tidak sempurna dan tidak pada kondisi yang sama. Dampak tersebut tentunya menimbulkan kerugian baik bagi petani, konsumen, maupun pelaku distribusi itu sendiri. Hal ini berdampak juga pada naiknya harga pangan di tangan
konsumen.

Salah satu komoditas yang sering mengalami naik turun harga adalah
komoditas cabai. Cabai adalah kelompok komoditas sayuran yang banyak
dibudidayakan oleh petani baik secara tradisional maupun secara intensif di lahan dataran rendah. Komoditas ini merupakan rempah yang kebanyakan digunakan untuk penyedap rasa bahkan untuk obat tradisional. Permintaan atau kebutuhan cabai terus akan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan perkapita dan pesatnya perkembangan kuliner. Sekalipun ada kecenderungan peningkatan kebutuhan, tetapi permintaan terhadap cabai dapat
berfluktuasi yang disebabkan karena pengaruh dari sisi faktor permintaan dan sisi penawaran. Rantai distribusi suatu permasalahan klasik yang belum terpecahkan hingga sekarang. menurut KGPAA Paku Alam X pada Senin 24 Februari 2020 di kompleks kepatihan, panjangnya rantai distribusi pangan menjadi permasalahan krusial dalam ketahanan pangan indonesia khususnya DIY. Besarnya peranan distributor juga menjadi permasalahan yang harus segera diselesaikan. Dominansi distributor kecil menengah turut menambah daftar panjang alur distribusi bahan pangan di Indonesia. Alur pemasaran di indonesia dimulai dari petani sebagai produsen, dan kelompok distributor seperti pengepul, pedagang eceran kemudian berakhir pada tingkat konsumen. Pada konteks ini peningkatan produksi berperan
sebagai penentu karena peningkatan produksi pertanian berpengaruh terhadap
pendapatan petani itu sendiri. Perihal meningkatkan kesejahteraan petani
tradisional seringkali dihadapkan kepada permasalahan pengetahuan petani,
keterbatasan modal usahatani, lahan garapan yang sempit. Dalam produksi tanaman cabai setelah dipanen dapat dijual dengan harga tinggi atau rendah tergantung dari kualitas barangnya, daya saing dan rantai pasok yang dilalui.

Terdapat kendala pada sistem tataniaga yang dalam pelaksanaannya membuat
arus tersebut tidak berjalan baik, seperti panjangnya saluran tataniaga khususnya
untuk komoditas cabai. Salah satu penyebab terjadinya tataniaga yang panjang ini adalah kurang berfungsinya pemerintah maupun distributor. Panjangnya rantai distribusi ini juga menyebabkan efek lain seperti harga yang jauh berbeda antara petani dengan konsumen akhir, serta kualitas barang menurun yang merugikan petani, konsumen, maupun pelaku distribusi itu sendiri. Permasalahan ini menjadi hal penting yang harus ditemukan solusinya karena dalam pendistribusian produk
pasca panen secara umum dan tinggi rendahnya taraf hidup petani secara khusus.

Dari rantai distribusi yang panjang menyebabkan naik turunnya harga di
pasaran. Harga sangat berpengaruh terhadap permintaan dan penawaran suatu barang di pasar. Harga selalu mengalami kenaikan maupun penurunan dalam jangka waktu yang tidak menentu. Tinggi rendahnya harga juga dipengaruhi oleh distribusi atau penyaluran barang. Semakin panjang rantai distribusi antara
produsen ke konsumen maka harga akan semakin tinggi, karena semakin panjang
rantai distribusinya maka semakin banyak biaya yang dikeluarkan untuk biaya
penanganan dan biaya transportasi. Dalam hal transportasi, harga Bahan Bakar Minyak (BBM) turut menyumbangkan pengaruhnya terhadap harga pangan, semakin tinggi harga BBM akan semakin tinggi juga biaya yang dikeluarkan untuk mendistribusikan hasil panen dari satu tempat ke tempat lain.

Berdasarkan data perkembangan cabai rawit merah dari Januari 2021 sampai
Juni 2022 bahwa cabai rawit merah di Indonesia mengalami fluktuasi harga.
Dimana pada tahun 2021 harga cabai rawit terus mengalami kenaikan dan
penurunan, dengan harga tertinggi bulan Maret Rp96.050/kg dan harga terendah
pada bulan November Rp38.950/kg. Sedangkan pada tahun 2022 bulan Januari
harga cabe rawit merah masih mengalami fluktuasi dengan harga tertinggi terjadi
pada bulan Maret Rp68.900/kg, serta harga terendah di bulan April Rp54.600/kg.
Fluktuasi harga cabai rawit merah tersebut terjadi karena disebabkan oleh beberapa hal seperti gagal panen akibat dampak dari cuaca kemarau basah, serta tanaman yang rentan terhadap serangan jamur dan virus.

Fluktuasi harga ini perlu peran perancang kebijakan untuk mengintervensi
pasar berdasarkan dasar hukum yang ada. Dasar hukum kewenangan pengawasan
di bidang pengelolaan niaga adalah kewenangan konstitusional yang diatur dalam Pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945. Selain sebagai dasar hukum, Pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945. Selain sebagai dasar hukum, Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang
berbunyi, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”; Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang
berbunyi, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” juga mempunyai kekuatan hukum. Dasar etika bagi pemerintah dan pelaku usaha lainnya untuk mengelola dan memanfaatkan kekayaan bumi, air, dan sumber daya alam Indonesia dalam rangka mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini juga menyebabkan ketidakjelasan atas dasar suatu komoditas yang dapat dan tidak
dapat diperdagangkan. Ambiguitas patokan ini telah menyebabkan pemerintah mengeluarkan keputusan sepihak untuk membatasi atau memudahkan perdagangan barang, atau menyerahkannya kepada entitas swasta untuk mengatur sistem perdagangan mereka. Akibatnya, banyak barang dagangan atau produk pertanian
menderita karena aturan perdagangan yang tidak jelas atau mengalami penurunan kualitas. Dalam `PP No. 68 tahun 2002 Pasal 4 ayat 2 mengatakan bahwa untuk mewujudkan distribusi pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem distribusi
pangan yang menjangkau seluruh wilayah secara efisien. terkait hal tersebut,
pemerintah telah mendirikan STA (Sub Terminal Agribisnis) yang berfungsi
sebagai pemutus panjangnya rantai distribusi pangan. pada dasarnya tupoksi dari STA itu sendiri yaitu mengembangkan sistem jaringan pemasaran hasil pertanian
dan mengembangkan sistem penjualannya serta menyelenggarakan mekanisme
penjualannya.

Berdasarkan Undang-Undang No 19 Tahun 2013 pasal 25 ayat 1 yang berbunyi “Pemerintah berkewajiban menciptakan kondisi yang menghasilkan harga
Komoditas Pertanian yang menguntungkan bagi petani.”. Oleh karena itu, pemerintah melakukan berbagai upaya yang diatur dalam Pasal 7 ayat 2 huruf C tentang “harga komoditas pertanian.” Serta diwujudkan dengan pasal 25 ayat 2 huruf E juga menjelaskan bahwa kewajiban pemerintah menciptakan sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 dapat dengan menetapkan kebijakan stabilisasi harga pangan. Oleh karena itu, melalui pasal 7 ayat 2 huruf C pemerintah menjelaskan bahwa strategi perlindungan petani dilakukan melalui harga komoditas pertanian. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah ini demi melindungi petani dan margin harga yang ada di masyarakat jika melonjak tinggi. Untuk kenaikan margin harga itu sendiri bisa juga melampaui batas daya beli masyarakat itu sendiri. Sehingga
pemerintah harus tahu bahwasanya permasalahan inilah yang ditakutkan
masyarakat dengan kenaikan pangan yang akan menyebabkan mereka mengurangi
penggunaan bahan-bahan pokok demi menunjang keberlangsungan hidupnya.

Tataniaga dalam pertanian di Indonesia masih menjadi persoalan klasik yang
tidak kunjung selesai. Permasalahan tersebut di antara panjangnya rantai tata niaga sehingga terciptanya gap harga jual di petani dan konsumen akhir yang cukup
terasa. Selain itu berakibat pula fluktuasi harga untuk beberapa komoditas pertanian seperti cabai. Belum lagi penurunan kualitas hasil pertanian yang sampai di tangan konsumen. Dampak yang ada akibat lemahnya tataniaga pertanian tersebut dirasakan oleh petani, konsumen, maupun masyarakat secara umum. Hal tersebut merupakan topik penting yang semestinya dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah dan bekerjasama dengan pelaku distribusi.

Berdasarkan permasalahan diatas, pemerintah seharusnya bisa lebih
mengawasi rantai distribusi di masyarakat. Seperti pembenahan pola distribusi dan sarana distribusi barang untuk menekan tingginya biaya distribusi. Dalam mempermudah pemerintah mengawasi maupun mengevaluasi kegiatan pemasaran, perlu membuat atau memperkuat organisasi tani di masyarakat. Hal ini akan menjembatani petani dalam memberikan keluhan dan mendapat informasi seputar
pemasaran ataupun lainnya. Selain itu pemerintah juga harus menjalin kerja sama dengan pelaku distribusi agar mempersingkat panjangnya rantai distribusi. Sedangkan bagi masyarakat dari pihak petani untuk lebih mendalami ilmu pemasaran serta update mengenai situasi pasar. Distributor sendiri juga harus lebih baik dalam mengelola persediaan barang agar tidak terjadi penimbunan barang dan naiknya harga di pasaran. Mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa harus mampu memberi edukasi dan penggerak inovasi baru kepada masyarakat dalam management produk pertanian agar memiliki daya saing dan nilai tambah.


DAFTAR PUSTAKA


Dian Setiawati, S (25 Februari 2020). Panjangnya Rantai Jadi Malah Pangan di
DIY. Republika.://www.republika.co.id/berita/q69bk6368/panjangnyarantai-distribusi-jadi-masalah-pangan-di-diy
Kustiari, Reni, Simatupang P, Sadra DK, Wahida, Purwoto A, Purba HJ, Nurasa T.

  1. Model Proyeksi Jangka Pendek Permintaan dan Penawaran
    Komoditas Pertanian Utama. Bogor
    Nasir. 2021. Sistem Tataniaga Cabai Merah Keriting di Kecamatan Banyuasin III
    Kabupaten Banyuasin. Journal Societa. (2), 39-51
    Undang – Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 33 ayat 2 dan 3 tentang Dasar
    Perekonomian Negara
    Undang – Undang No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan
    Petani
    Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional

Leave a Reply