Wabah COVID-19 atau corona virus desease -19 telah ditetapkan menjadi pandemi global oleh WHO sejak maret 2020. Jumlah penyebaran yang semakin meningkat dan berlangsung secara bersamaan menyebabkan terganggunya berbagai kegiatan di seluruh dunia. Di Indonesia, pandemi COVID-19 semakin masif dan sudah menyebar ke berbagai provinsi. Berdasarkan update data covid19.go.id pada 22 Juni 2020 terdapat total 47.896 kasus positif dengan persebaran di seluruh wilayah provinsi Indonesia. Provinsi DKI jakarta menjadi provinsi dengan jumlah kasus terbanyak atau sebesar 21,6% sementara Provinsi Aceh menjadi provinsi dengan kasus COVID-19 yang terkecil yaitu sebesar0,1%.
Persebaran COVID-19 yang merata di berbagai provinsi akan memberikan dampak serius terhadap berbagai sektor di Indonesia. Sektor pertanian menjadi salah satu sektor yang dipengaruhi. Pertanian berperan sebagai salah satu sumber pemasukan devisa negara. Hal ini dibuktikan berdasarkan sensus pertanian 2013 sektor pertanian berada dalam urutan kedua setelah sektor industri pengolahan sebagai sektor yang memberikan kontribusi terhadap perekonomian Indonesia. Meski kontribusi terus mengalami penurunan, sektor pertanian terbukti menjadi sektor penting yang harus diperhatikan utamanya dalam masa pandemi seperti yang saat ini kitarasakan.
Pemerintah memberikan himbauan kepada masyarakat untuk menjaga jarak secara fisik (physical distancing) dan melakukan pekerjaan dari rumah (working for home) termasuk pembelajaran jarak jauh bagi para pelajar hingga kebijakan beberapa pemerintah daerah yang menerapkan karantina wilayah dan melakukan pembatasan mobilitas orang ataupun barang. Himbauan tersebut telah membuat perubahan situasi yang baru salah satunya perubahan pola rantai pasokan pangan. Pada sektor pangan terjadi perubahan dari proses produksi hingga konsumsi baik dari hulu hingga hilir di tengah pandemi COVID-19.
Pada awal terjadinya pandemi di Indonesia terjadi hambatan distribusi produk pangan karena adanya pembatasan mobilisasi. Akibat dari hal tersebut terjadi rentang atau jarak antara harga di tingkat produsen atau petani dan harga di tingkat konsumen. Di tingkat produsen, produk pertanian melimpah karena tidak dapat didistribusikan sehingga harga yang ada akan rendah. Hal ini utamanya terjadi pada komoditas pertanian yang mudah rusak, seperti buah segar, sayur segar, daging, ikan, dan bunga.
Pembatasan mobilitas mencegah petani dalam mengakses pasar dan berakibat pada terbuangnya produk pangan. Petani tidak mampu menjual produk yang dimiliki karena terjadi penutupan beberapa HORECA (hotel, restaurant dan cafe), pasar tradisional dan beberapa supermarket. Hal tersebut membuat harga di tingkat petani semakin rendah sehingga petani mengalami penurunan pendapatan. Kondisi ini semakin memburuk karena penurunan harga jual dari petani tidak diimbangi dengan penurunan harga saprotan (sarana produsi pertanian). Harga saprotan yang ada cenderung tetap bahkan mengalami kenaikan karena kelangkaan barang sebagai akibat terhambatnya distribusi.
Permasalahan akan berbeda pada tingkat konsumen. Pada tingkat ini harga mengalami kenaikan. Hal tersebut terjadi karena sebagai akibat dari akses distribusi yang terhambat sehingga beberapa tempat mengalami defisit pangan. Harga bahan pangan yang ada pada tingkat konsumen akan mengalami kenaikan. Pembelian berlebihan akibat rasa panik dan penimbunan makanan oleh konsumen membuat kenaikan harga tidak bisa dihindari. Sementara itu daya beli konsumen dimungkinkan menurun mengingat banyaknya perusahaan yang melakukan pengurangan jumlah karyawan ataupun diharuskan menutupusahanya.
Permasalahan lainnya adalah hambatan proses produksi. 93% dari total petani di Indonesia merupakan petani kecil yang memiliki penguasaan lahan sekitar 0.6 hektar per rumah tangga (FAO, 2018). Adanya keterbatasan penguasaan lahan membuat petani harus memiliki strategi utamanya dalam menghadapi pandemi yang terjadi saat ini. Pandemi membuat proses produksi dan pengolahan tanaman pangan yang bersifat padat karya terhambat akibat kurangnya tenaga kerja dan penghentian produksi sementara.
Perubahan dirasakan oleh petani mengenai pasokan input dan penyesuaian protokol berproduksi untuk menjamin kualitas dan keamanan pangan di tengah pandemi COVID-19. Efektifitas dan efisiensi kegiatan produksi terus mengalami penurunan.
Jika hambatan proses produksi terus menerus terjadi hingga akhir tahun, maka dapat terjadi penurunan stok pangan. Jika dilihat dari data perkembangan luas panen padi di Indonesia tahun 2019 menunjukkan bahwa terjadi penurunan luas panen pada bulan september hingga desember. Hal tersebut dapat dimungkinkan terjadi melihat prediksi musim kemarau oleh BMKG akan mengalami puncak pada bulan Agustus 2020 sehingga dapat mungkin terjadi kekeringan. Pandemi COVID-19 dan pengaruh iklim menjadi perihal serius yang harus diperhatikan untuk ketersediaan pangan saat ini. Mengingat akses untuk melakukan impor akan bermasalah karena negara produsen pangan menghadapi permasalahan yang sama mengenai COVID-19 selain itu protokol kesehatan yang ada cukup rumit sehingga pelaksanaan impor juga akansulit.
Pada masa pandemi saat ini diperlukan adanya stimulasi yang mendorong produksi pertanian. Petani diharapkan mampu mandiri dalam penyediaan bibit dan pupuk untuk bereproduksi. Tentunya bantuan intensif dari pemerintah berupa pupuk,bibit,alat mesin dan obat menjadi langkah yang realistis untuk membantu petani utamanya petani serabutan, penggarap dan buruh tani. Inovasi pemasaran yang baru seperti melalui aplikasi online untuk menghindari adanya keramaian dapat terus dikembangkan. Misalnya DESA Apps yang merupakan inovasi layanan informasi teknologi, distribusi dan pemasaran produk pertanian sehingga dapat memperpendek rantai penjualan dari petani ke konsumen.
Distribusi bahan pangan dapat diupayakan untuk dilaksanakan dengan mengacu pada protokol kesehatan yang ada seperti sterilisasi dengan menggunakan disinfektan untuk komoditas, pekerja logistik, serta perlengkapan dan peralatan logistik. Pemerintah perlu mendorong dan memfasilitasi agar proses distribusi dapat berjalan optimal, sehingga ketersediaan dan stabilitas harga pangan tetap terjaga. Masyarakat dapat melakukan upaya pemenuhan kebutuhan pangan mandiri untuk mengurangi kerawanan ketersediaan pangan. Hal yang dapat dilakukan misalnya melakukan penanaman sayur dan buah di rumah selain menjamin kesehatan bahan pangan juga dapat menyediakan kebutuhan secara mandiri.
COVID-19 memberikan dampak yang cukup panjang dalam sektor pertanian di Indonesia. Baik dari permasalahan produksi petani, ketersediaan bahan pangan, distribusi pangan, hingga kemampuan daya beli konsumen. Bantuan intensif dari pemerintah, kesesuaian protokol yang jelas dan baik, serta kesadaran masyarakat menjadi upaya untuk mendukung penyelesaian dampak akibat COVID-19.
Oleh:
Mayda Fadhilah ‘Ulya
(Universitas Gadjah Mada)
Daftar Pustaka
www.covid19.go.id di akses pada 22 Maret 2020 https://www.who.int/ diakses pada 22 Juni 2020
FAO,2018. Small Family Farming in Indonesia – a country specific outlook | FAO[WWW Document]. URL http://www.fao.org/family-farming/detail/en/c/1111082/Luas Panen dan Produksi Padi di Indonesia.2019.Survei Kerangka Sampel Area.
BadanPusat Statisik. Sensus Pertanian.2013. Potensi Pertanian Indonesia Analisis Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian 2013. Badan Pusat Statistik https://www.bmkg.go.id/iklim/prakiraan-musim.bmkg diakses pada 22 Juni 2020