Ditengah kondisi menghadapi pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), ada beberapa hal yang hari ini perlu disadari oleh masyarakat dan juga menjadi pertanyaan publik, terkait penerapan sistem Darurat Sipil yang tertera dalam Perpu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, yang dipilih sebagai salah satu cara untuk menangkal penyebaran Covid-19, kemudian juga adanya pembahasan lanjutan mengenai RUU Cipta Kerja Omnibus Law yang kemarin sempat dimuat di pelbagai media massa terkait anggota DPR RI yang sepakat membawa RUU Cipta Kerja Omnibus Lawuntuk diserahkan ke Badan Legislasi (Baleg).
Dalam hal ini perlu kita refleksikan terkait perdebatan rancangan undang – undang yang pernah digaungkan oleh pemerintah sebelum pandemi ini hadir di Indonesia. Rancangan Undang – Undang Cipta Kerja (RUU CIKA) Omnibus Law yang diyakini sebagai regulasi terbarukan pemangkas birokrasi yang pro terhadap rakyat. Omnibus Law merupakan konsep dalam perumusan sebuah peraturan perundang undangan yang bentuknya merubah pasal-pasal dari beberapa regulasi induk menjadi suatu peraturan tunggal. Omnibus Law banyak dikenal di negara penganut sistem common law seperti Amerika, Kanada, Australia, dan negara-negara common law lainya. RUU Cipta Kerja ini terdiri dari 15 BAB dan 174 pasal, yang didalamnya turut memuat perubahan, penghapusan, dan pembatalan atas 79 undang-undang yang terkait dengan pembangunan dan investasi.
Pada 13 Februari 2020 lalu, Pemerintah Pusat berinisiatif memberikan Rancangan Undang – Undang ini kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang dimana banyak bidang – bidang yang termuat, diantaranya : Bidang Penyederhanaan Perizinan, Bidang Persyaratan Investasi, Bidang Ketenagakerjaan, Bidang Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan bagi UMK-M dan Koperasi, Bidang Dukungan Riset dan Inovasi, Bidang Administrasi Pemerintahan, Bidang Penerapan Sanksi, Bidang Pertanahan dan yang terkait, Bidang Investasi Pemerintah dan Percepatan Strategis Nasional, dan yang terakhir Bidang Kawasan Ekonomi. Hal ini jika berhasil disahkan maka akan berdampak kepada kehidupan masyarakat sehari – hari.
Dewasa ini kita melihat begitu banyaknya konflik – konflik ruang hidup yang melibatkan alat kelengkapan negara dengan rakyat yang berjuang untuk mendapatkan hak atas tanahnya. Pun dalam RUU ini juga membahas mengenai Bidang Pertanahan dan yang terkait, dimana Bidang ini termasuk di dalamnya Pengadaan Tanah, Alihfungsi Lahan Pertanian Pangan Bekelanjutan, Pertanahan dan bidang terkait lainnya. Adapun pelbagai masalah tentang hal tersebut, antara lain tidak memenuhi syarat formil dan materiil dalam penyusunan RUU Cipta Kerja berkenaan dengan asas keadilan, ketertiban dan kepastian hukum, dan penyusunannya terindikasi melanggar norma UU asalnya, dampaknya adalah terabaikannya keadilan dan perlindungan hukum bagi Masyarakat Hukum Adat, petani, dan pihak – pihak yang turut terdampak lainnya
Tentu dari penjabaran di atas banyak spekulasi terkait adanya penerapan Darurat Sipil dan pembahasan RUU Cipta Kerja Omnibus Law, dimana dalam hal ini pemerintah pusat memulai dengan himbauan #dirumahaja agar meminimalisir adanya kegiatan yang mengumpulkan orang banyak seperti halnya aksi demonstrasi. Selain itu dilihat dari sisi momentum, ini seperti momentum yang tepat bagi pemerintah untuk melancarkan pengesahan RUU Cipta Kerja, sebab situasi dan kondisi hari ini, masyarakat masih terfokus kepada pandemi Covid-19 yang membuat masyarakat kian resah dengan informasi yang tiap hari terus berubah sejalan dengan penanganannya yang terkesan lambat. Seperti komentar Ketua Yayasan LBHI Asfinawati pada media massa Tempo, Selasa, (31/3) “Saya kok curiga ini mengail di air keruh, menggunakan kesempatan di tengah pandemi, menurut Asfiyang diperlukan dalam menangani wabah Corona adalah kebijakan darurat kesehatan, bukan darurat sipil. Jika Jokowi benar memilih pembatasan kebebasan sipil, itu kemungkinan untuk mengegolkan agenda-agenda seperti RUU Cipta Kerja dan Ibu Kota Negara, ujarnya.Status darurat sipil sendiri memiliki sejumlah konsekuensi sesuai dengan Perpu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan UU Nomor 74 Tahun 1957 dan Menetapkan Keadaan Bahaya. Salah satunya adalah menambah sejumlah kewenangan kepada presiden sebagai penguasa darurat sipil pusat, dan kepala daerah sebagai penguasa darurat sipil daerah. “Akibatnya bisa fatal, yaitu menghilangkan kebebasan sipil, tambahnya”. Hal serupa juga digaungkan oleh PresidenKonfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Selasa (31/3) yang mengatakan “Patut diduga, sikap ngotot untuk membahas omnibus law RUU Cipta Kerja tersebut adalah untuk memperjuangkan kepentingan kelompok tertentu. Tidak mempunyai empati terhadap rakyat kecil dan buruh yang menolak omnibus law yang hingga saat ini masih terus bekerja di perusahaan,tidak diliburkan ditengah pandemi corona,” kata Said Iqbal.
Akan tetapi masyarakat hari ini diharapkan tidak pesimis begitu saja, meskipun hari ini rakyat sedang menghadapi wabah pandemi yang tak kunjung usai, banyaknya campaign penolakan di media massa dan media sosial hari ini adalah sikap optimis kita semua untuk menggagalkan RUU tersebut disahkan, sebab masa depan kesejahteraan ada ditangan kita, tetap membara api semangat juangmu, semoga esok kita sampai dengan berdaulatnya seluruh rakyat Indonesia.
Oleh : Fadhilah Akbar
SEKRETARIS 1 MPA POPMASEPI
Pustaka :
Kertas Kebijakan Catatan Kritis Dan Rekomendasi Terhadap Ruu Cipta Kerja
Kajian Aliansi Rakyat Bergerak
Tok! Anggota DPR Sepakat RUU Omnibus Law Ciptaker Dibawa ke Baleg https://news.detik.com/berita/d-4962721/tok-anggota-dpr-sepakat-ruu-omnibus-law-ciptaker-dibawa-ke-baleg
YLBHI Curiga Maksud Lain Jokowi Pilih Darurat Sipil Hadapi Corona https://nasional.tempo.co/read/1326009/ylbhi-curiga-maksud-lain-jokowi-pilih-darurat-sipil-hadapi-corona
Serikat Pekerja Tolak Omnibus Law dan Darurat Sipil https://indonesiainside.id/news/nasional/2020/03/31/serikat-pekerja-tolak-omnibus-law-dan-darurat-sipil